Friday, May 4, 2007

PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT PEMBELAJARAN SEUMUR: (LIFE LONG LEARNING)

PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT   PEMBELAJARAN SEUMUR HIDUP (LIFE LONG LEARNING) 

Oleh: Eka Wardhani 

A.     Pendahuluan

"Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat"

(HR Nabi Muhammad SAW)

Semangat menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia dapat meningkatkan derajatnya karena ilmu pengetahuan. Manusia dapat bertahan hidup di dunia yang "liar" juga karena ilmu pengetahuan. Bahkan manusia bisa memperluas wilayah hidupnya hingga ke angkasa luar juga menggunakan ilmu pengetahuan. Karena itu, ungkapan di atas memang sangat tepat digunakan untuk menggambarkan sebuah proses pencarian ilmu pengetahuan yang sering juga kita sebut sebagai proses belajar. Proses belajar sesungguhnya tak mengenal waktu maupun tempat. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan bisa kita dapatkan dimanapun dan kapanpun.

Proses belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1.      Melalui jalur formal, yaitu proses belajar yang menggunakan kurikulum standar yang disampaikan dan dibimbing oleh guru. Proses ini terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar (SD), SLTP, SMU hingga tingkat perguruan tingi dan pascasarjana yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Proses belajar ini harus dilalui tahap demi tahap.

2.      Melalui jalur non-formal, yaitu proses belajar melalui kursus atau pelatihan yang banyak diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Proses belajar informal biasanya tidak menggunakan kurikulum akan tetapi ada paket belajar yang harus ditempuh oleh siswanya. Dalam prosesnya tetap ada seorang pembimbing yang memberikan arahan dan petunjuk dalam penguasaan sebuah pengetahuan.

3.     Otodidak, yaitu proses belajar secara mandiri tanpa melalui kurikulum maupun guru. Proses belajar ini bisa dilakukan dengan banyak membaca buku, diskusi, sharing dengan orang lain atau melalui pengalaman dalam melakukan sesuatu sehingga pengetahuan kita dapat bertambah karena pengalaman tersebut (tacid knowledge). Jalur otodidak biasanya ditempuh karena berbagai alasan, di antaranya karena usia yang sudah melebihi batas  atau karena tidak adanya biaya untuk menempuh jalur formal.

Proses belajar melalui jalur formal biasanya dibatasi oleh usia karena memang harus berjalan tahap demi tahap, sedangkan jalur non-formal maupun otodidak tidak dibatasi oleh usia. Proses belajar secara otodidak dilakukan secara mandiri dengan didukung oleh sumber-sumber informasi yang banyak tersedia di perpustakaan umum. Proses pembelajaran secara otodidak inilah yang sering disebut sebagai pembelajaran seumur hidup atau "life long learning". Proses penyediaan dan pemilihan sumber informasi  yang meliputi seluruh subjek yang ada dan tepat sasaran oleh perpustakaan akan memberikan dukungan yang sangat baik bagi masyarakat yang memilih jalur otodidak. Karena itu, keberadaan perpustakaan dengan penyediaan sumber informasi yang lengkap sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan menempuh jalur pendidikan formal maupun non-formal.

Pembelajaran dan perpustakaan merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Keterkaitan tersebut terlihat dalam salah satu fungsi perpustakaan sebagai tempat belajar sedangkan perpustakaan merupakan fasilitas bagi optimalisasi pembelajaran yang sedang berjalan. Kedua bidang ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Peran perpustakaan dalam memfasilitasi proses belajar seumur hidup akan dibahas dalam artikel ini. Hal-hal yang berkaitan dengan peran tersebut diantaranya bagaimana format dan metode yang dapat diterapkan oleh perpustakaan dalam mensukseskan misi ini juga akan dibahas lebih lanjut.

 

B.     Perpustakaan sebagai salah satu fasilitator pendidikan

Banyak ahli pendidikan yang menyadari bahwa pendidikan terutama sekolah (formal) kurang mampu memenuhi tuntutan kehidupan. Karena itu, dalam pertemuan internasional yang diprakarsai badan PBB urusan pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, mereka menyepakati perlunya pendidikan seumur hidup (Sa'adah 2006:1). Pemikiran ini sejalan dengan pendapat pakar pendidikan yang juga mantan Mendikbud, Fuad Hasan, (disampaikan saat menjadi pembicara kunci pada seminar "Rekonstruksi dan Revitalisasi Indonesia Menuju Masyarakat Madani" di Jakarta tanggal 2 September 20050), yang menyatakan bahwa pendidikan dalam arti luas merupakan ikhtiar yang ditempuh melalui tiga pendekatan yaitu pembiasaan, pembelajaran dan peneladanan. Ketiga aspek tersebut berlangsung sepanjang perjalanan hidup manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, yang perlu digarisbawahi bahwa pendidikan dapat ditempuh melalui pendekatan pembiasaan, pembelajaran dan peneladanan. Artinya bahwa sebenarnya pendidikan harus dimulai sejak kecil dalam lingkungan yang paling kecil pula yaitu keluarga. Ketiga proses pendekatan tersebut akan berhasil jika diawali dari lingkungan dimana seorang anak sering berada. Akan tetapi pola pendidikan kebanyakan masyarakat Indonesia seringkali terpaku pada sekolah formal. Sehingga pola-pola pendekatan tersebut terkadang tidak bisa berjalan secara maksimal dan tidak memberikan hasil belajar yang optimal. Untuk mengejar keterlambatan ini diperlukan upaya-upaya dari pihak pengelola dan pemerintah untuk memaksimalkan segala potensi yang ada agar ketiga pola pendekatan dapat berjalan secara maksimal, sehingga  tercapai hasil belajar yang optimal.

Salah satu pola pembiasaan yang sangat membantu bagi proses belajar adalah membaca dan menemukan sumber referensi yang sangat berguna bagi kepentingan pencarian ilmu pengetahuan yang sedang dijalani. Pembiasaan membaca akan sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan peneladanan dari para orang tua. Tanpa penyediaan fasilitas buku-buku yang bermutu dan bimbingan orangtua atau guru disekolah hal ini akan sulit dicapai. Akan tetapi sebenarnya masih ada alternatif lain untuk pemenuhan fasilitas membaca bagi masyarakat yaitu dengan memperkenalkan perpustakaan kepada anak-anak sejak kecil. Mulai dari lokasi perpustakaan, apa yang terdapat di dalamnya hingga bagaimana cara menemukan informasi yang terdapat di sana. Hal ini akan sangat membantu bagi para orang tua dalam memenuhi kebutuhan membaca bagi anak-anak maupun diri mereka sendiri.

Fungsi utama perpustakaan ada 5, yaitu penyimpanan, pendidikan, penelitian, informasi dan rekreasi kultural (Qalyubi, 2003:15-17). Masih dalam sumber yang sama disebutkan bahwa  fungsi perpustakaan sebagai tempat pendidikan mengandung arti bahwa perpustakaan merupakan tempat belajar seumur hidup. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut bahwasanya perpustakaan sebagai penyedia sumber informasi dapat digunakan oleh semua orang tanpa memandang umur, pekerjaan, status dll sehingga proses belajar dapat berlangsung secara berkesinambungan dan berjalan seumur hidup. Dengan demikian, berarti juga bahwa perpustakaan juga dapat berperan sebagai fasilitator pendidikan bagi masyarakat.

Masalahnya sekarang adalah bahwa perpustakaan yang mempunyai potensi sebagai fasilitator pendidikan tersebut terkadang masih dipandang miring dan negatif. Perpustakaan masih sering dianggap sebagai gudang atau tempat penyimpanan buku. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengembangkan perpustakaan menjadi penentu pola dan kecenderungan (pattern and trend setter) perilaku masyarakat. Dengan demikian pola pembiasaan membaca tidak perlu dilakukan dengan susah payah, karena masyarakat merasa mempunyai "gengsi" tersendiri ketika datang dan menggunakan layanan baca di perpustakaan.

Pola pikir masyarakat tentang perpustakaan memang harus diubah. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah, karena kita tidak bisa memaksa masyarakat begitu saja untuk mengikuti pola pikir kita secara utuh. Salah satu cara untuk mengubah pandangan tersebut adalah dengan menunjukkan jati diri perpustakaan yang sebenarnya dan memberikan jaminan bahwa perpustakaan akan memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat daya pikir masyarakat yang semakin kritis dalam memandang sesuatu.

Perubahan yang terjadi dalam sebuah organisasi merupakan sesuatu yang lumrah dan dapat terjadi kapan saja. Hal ini dikarenakan pemikiran masyarakat yang selalu berkembang dan mengikuti pola perkembangan. Perubahan yang dilakukan semata untuk langkah perbaikan dan pencapaian hasil yang optimal. Sebagai sebuah penyedia jasa layanan perpustakaan harus selalu mengalami perubahan dalam masukan (input), proses, maupun keluarannya (output).

Perubahan masukan di perpustakaan, di antaranya: pembaharuan koleksi perpustakaan agar informasi yang disajikan selalu mutakhir,  atau pembaharuan tata ruangan atau desain interior perpustakaan agar pengguna selalu merasa nyaman,  fresh dan tidak bosan. Proses administrasi yang ada di perpustakaan juga tidak perlu dilakukan secara berbelit-belit. Kalau perlu,  pengguna cukup mengakses perpustakaan dari rumah masing-masing sehingga tidak perlu datang secara fisik ke perpustakaan. Perubahan output  atau keluaran perpustakaan akan terlihat dari reaksi pengguna setelah menggunakan perpustakaan. Apa yang dirasakan oleh pengguna apakah mereka merasa puas atau tidak dengan layanan yang diberikan itulah hasil output perpustakaan. Peningkatan hasil keluaran akan terjadi bila  layanan yang diberikan ditingkatkan. Peningkatan layanan ini akan tercapai bila pengguna mendapatkan apa yang mereka inginkan, di antaranya tergantung dari seberapa lengkap koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan itu sendiri. Sebuah penelitian  di United Kingdom menyatakan bahwa hubungan antara perubahan koleksi dengan layanan adalah berbanding lurus. Ketika koleksi meningkat 79% , akademisi menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan meningkat. Ketika pelayanan perpustakaan ditingkatkan maka 70% pengguna mengatakan bahwa koleksi perpustakaan itu lebih baik (Evens, 1996:80). Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan koleksi perpustakaan juga akan meningkatkan citra pustakawan dan perpustakaan terhadap penggunanya.

Dengan menyediakan koleksi yang memenuhi kebutuhan pengguna dan memberikan layanan yang dapat memuaskan pengguna diharapkan perpustakaan akan mendapatkan citra yang baik di masyarakat, sehingga masyarakat merasa membutuhkan perpustakaan dan masyarakat selalu ingin mengunjungi perpustakaan untuk  mendapatkan solusi bagi persoalan yang mereka hadapi. Pada akhirnya perpustakaan dapat menjadi fasilitator dalam belajar dan menjadi sumber informasi bagi penyelesaian persoalan masyarakat

 

C.     Perpustakaan dan life long learning

Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan sebagai tempat pembelajaran seumur hidup mengandung pengertian sebagai berikut:

1.      Perpustakaan sebagai tempat belajar yang abadi

Sebagai pusat pengetahuan, perpustakaan selalu menyediakan sumber informasi yang tidak akan pernah habis. Walaupun penggunanya berganti-ganti, bervariasi dan koleksinya digunakan terus menerus, pengetahuan yang terhimpun di perpustakaan tidak akan habis, bahkan akan bertambah sesuai pola pengembangan koleksi  yang dilakukan oleh pengelola.

2.      Perpustakaan juga melayani semua orang termasuk orang sakit

Sebagai sara pembelajaran seumur hidup, perpustakaan tidak saja diperuntukkan bagi orang yang sehat, akan tetapi juga bagi orang yang sakit. Dalam ilmu perpustakaan dikenal istilah biblioterapi. Biblioterapi adalah usaha meringankan maupun mengurangi penderitaan pasien yang sakit jasmani maupun rohani dengan memberikan bacaan-bacaan agama, kejiwaan maupun bacaan ringan (Lasa HS, 1998:11).  Biblioterapi ini kebanyakan dilakukan oleh rumah sakit yang sadar akan pentingnya pengalihan rasa sakit melalui bacaan. Pemberian bahan bacaan yang menarik diharapkan akan memberikan dampak poistif bagi  kejiwaan pasien. Dengan demikian diharapkan kondisi fisiknya juga akan ikut membaik dan proses penyembuhannya dapat dipercepat.

3.      Perpustakaan tidak memandang status pengguna

Perpustakaan umum tidak pernah membedakan status penggunanya. pejabat, PNS, swasta, rakyat jelata gelandangan sekalipun dapat menggunakan jasa layanaan  perpustakaan. Mereka mempunyai hak dan fasilitas yang sama dalam menggunakan jasa perpustakaan.

4.      Perpustakaan dapat menjadi alternatif tempat belajar bagi anak putus sekolah, dan anak dari keluarga miskin atau ekonomi lemah.

Kita seringkali melihat banyak anak-anak yang kerjaannya mengemis atau meminta-minta di perempatan jalan. Bagi sebagian orang mungkin hal itu merupakan fenomena biasa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sangat menghawatirkan. Mereka yang usianya masih usia sekolah dipaksakan untuk melakukan hal yang kurang produktif. Hal ini bisa menjadi masalah nasional karena berkaitan dengan tujuan negara dalam mengentaskan kemiskinan tidak juga tercapai dan melanggar UUD 1945 pasal 1 yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara". Alasan ekonomi boleh jadi merupakan faktor utama sebagai penyebabnya akan tetapi hak mereka untuk memperoleh pengetahuan tidak boleh diabaikan. Disinilah peran perpustakaan sangat dibutuhkan dalam mencukupi kebutuhan belajar anak-anak tersebut dengan menyediakan bahan bacaan bermutu dan membangun minat baca dalam komunitas tersebut. Dengan demikian perpustakaan dapat memberi sedikit harapan bagi anak-anak tersebut dalam mengenal dunia yang lebih luas dengan membaca dan pada akhirnya akan menjadi jalan untuk mengentaskan mereka dari jebakan kemiskinan.

 

D.    Perpustakaan pendukung learning community

Persoalan kemiskinan yang menjadi momok bagi negeri ini sudah meluas tidak saja berarti kemiskinan secara ekonomi, akan tetapi makna kemiskinan di sini dapat meluas ke sektor-sektor lain ketika masyarakat terhimpit dalam masalah yang sangat kompleks. Misalnya saja miskin informasi, miskin akses, miskin pengetahuan, miskin agama, miskin moral dsb. Dalam kondisi semacam ini masyarakat tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan produktif secara swadaya. Harus ada uluran tangan dari pemerintah untuk kembali memberdayakan masyarakat dengan membangun persatuan dan kesatuan untuk bersama-sama maju dan mengentaskan kemiskinan tersebut. Penyelesaian persoalan sesungguhnya dapat dimulai dengan mempermudah akses masyarakat dalam berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, informasi, dsb. Dengan demikian, masyarakat merasa terbantu dengan kemudahan tersebut dan dapat kembali membuka diri serta berupaya menyelesaikan persoalan secara mandiri. Pembukaan akses dapat dimulai dengan memberdayakan perpustakaan sebagai alternatif tempat belajar secara mandiri.

Perpustakaan sebagai tempat pendidikan seumur hidup dituntut untuk aktif dalam memaksimalkan jasa informasi yang disediakan. Hal ini berarti perpustakaan tidak boleh hanya menunggu pengguna datang ke perpustakaan, akan tetapi perpustakaan perlu untuk menciptakan motivasi dan inovasi yang dapat menarik pengunjung lebih banyak dan membuat pengunjung merasa betah dan mencintai perpustakaan. Sehingga citra perpustakaan di mata  pengguna    akan berubah kearah yang lebih baik. Untuk itu perpustakaan perlu menerapkan strategi perubahan yang sangat diperlukan dalam proses ini. Dalam ilmu manajemen tipologi perubahan dibedakan menjadi 3:

1.      Replikasi perubahan tanpa disesuaikan dengan kondisi organisasi;

2.      Adaptasi perubahan sesuai dengan kondisi lokal;

3.      Perubahan orisinal berasal dari organisasi yang bersangkutan.

Dari ketiga tipologi perubahan yang ada, tipe perubahan adaptasi merupakan yang cukup efektif dan efisien. Dalam perubahan tipe ini suatu oraganisasi tidak merombak keseluruhan organisasi. Perubahan yang dilakukan menyesuaikan dengan kebutuhan perubahan yang diinginkan. Tentu saja bagian yang masih dianggap berpotensi masih tetap dipertahankan. Adaptasi perubahan  oleh perpustakaan dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi informasi dalam pekerjaan-pekerjaan perpustakaan, sehingga perpustakaan dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi.

Adaptasi lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah paradigma perpustakan dari yang berorientasi kepada koleksi beralih ke perpustakaan yang berorientasi kepada akses terhadap informasi. Pada saat ini prestasi perpustakaan bukan lagi diukur berdasarkan kekayaan koleksi dan jumlah pengunjung yang datang langsung ke perpustakaan melainkan dari jumlah orang yang menggunakan layanan perpustakaan tersebut meskipun mereka tidak datang secara fisik (Mustafa, 1998:177). Paradigma layanan pun harus diubah dari  layanan pasif ke layanan aktif. Dalam layanan aktif pustakawan hendaknya aktif dalam membangun komunitas pengguna untuk dapat mengoptimalkan koleksi yang ada agar bisa digunakan secara maksimal.

 Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi, (2003:342) disebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam suatu perubahan yaitu:

1.      Berani menerapkan konsep pemecahan masalah secara sistematis;

2.      Berani bereksperimentasi;

3.      Belajar dari pengalaman diri sendiri;

4.      Transfer informasi dan pengetahuan;

5.      Keterlibatan seluruh karyawan.

Hal-hal tersebut di atas perlu diperhatikan ketika sebuah organisasi ingin berubah, terutama bagi pemimpin organisasi tersebut. Kesemuanya itu harus dianggap sebagai tantangan yang harus dilalui agar perubahan yang diinginkan dapat benar-benar terwujud. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam menghadapi permasalahan perpustakaan hendaknya mempunyai konsep yang sistematis. Untuk itu perpustakaan harus belajar dari pengalaman dan berani mencoba berbagai macam konsep yang ditawarkan, sehingga didapatkan konsep yang paling cocok  untuk menyelesaikan masalah. Konsep yang dianggap cocok dapat diterapkan dan dimintakan tangapannya dari pengguna untuk dijadikan bahan evaluasi. Selanjutnya pihak perpustakaan dan stafnya dapat melakukan sharing sebagai wujud transfer informasi dan pengetahuan untuk menentukan konsep tersebut sudah benar-benar cocok atau tidak. Keseluruhan proses tersebut akan berhasil dengan baik bila semua staf terlibat. Karena itu, untuk selalu melakukan perubahan, diperlukan sosok kepemimpinan yang bisa memotivasi karyawannya.

Masih dalam sumber yang sama,  di halaman 345, disebutkan  bahwa perubahan memerlukan metode strategis:

1.      Mengubah mindset melalui pelatihan-pelatihan achievement, motivation, team building , ketrampilan-ketrampilan human relations, dan lain-lain;

2.      Menggunakan sekelompok kader yang menjadi agen perubahan;

3.      Mendayagunakan teknologi untuk mencapai keunggulan yang kompetitif.

Sebagai fasilitator pembelajaran seumur hidup perpustakaan harus mampu mendidik penggunanya agar mengerti dan memahami bagaimana memanfaatkan sumber-sumber informasi yang ada secara optimal. Untuk itu, di perpustakaan sendiri perlu adanya pengkaderan bagi relawan-relawan yang peka terhadap persoalan pendidikan untuk bersama-sama membentuk sebuah komunitas belajar yang dapat memfasilitasi proses belajar seumur hidup.

Komunitas tersebut tidak akan terbentuk bila tidak ada bimbingan dan kesempatan yang diberikan oleh pihak perpustakaan, mengingat masyarakat sendiri kurang mengerti pentingnya sebuah perpustakaan. Langkah-langkah yang hendaknya ditempuh oleh sebuah perpustakaan dalam membentuk komunitas belajar yaitu:

1.      Mensosialisasikan perpustakaan kepada masyarakat;

2.      Mencari relawan yang bisa dijadikan sebagai kader perpustakaan;

3.      Membentuk komunitas-komunitas belajar di sekitar perpustakaan;

4.      Menyediakan tempat yang nyaman dan akomodatif;

5.      Memantau perkembangan kebutuhan belajar komunitas tersebut;

6.      Memberikan bimbingan penggunaan bahan pustaka sebagai sumber informasi dalam belajar.

Beberapa cara yang dapat ditempuh perpustakaan dalam membangun komunitas baca antara lain:

1.      Metode Mabulir

Mabulir merupakan kependekan dari majalah dan buku bergilir. Dalam metode ini perpustakaan dapat meminjamkan koleksinya kepada kelompok-kelompok kecil masyarakat. Secara teknis pihak pengelola perpustakaan tidak harus datang ke lokasi kelompok, akan tetapi cukup membuat surat pemberitahuan pada kelompok tersebut bahwa ada layanan untuk peminjaman untuk kelompok. Tiap-tiap kelompok dapat mengirimkan surat permintaan peminjaman bahan pustaka dengan melampirkan susunan pengurus/penanggung jawab. Peminjaman dapat dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan atau satu semester setelah dikembalikan maka bahan pustaka tersebut dipinjamkan pada kelompok lain secara bergantian.

2.      Perpustakaan Keliling

Metode ini memungkinkan penjangkauan lokasi yang letaknya agak jauh. Metode ini sangat efektif bila diterapkan pada basis-basis kelompok masyarakat seperti sekolah, pasar, mal atau tempat keramaian yang lain.

3.     Story Telling

Story telling biasanya dilakukan untuk kelompok yang terdiri dari anak-anak. Metode story telling diharapkan dapat meningkatkan minat anak untuk membaca. Cerita yang dibacakan atau dibawakan diharapkan dapat merangsang keinginan anak untuk mengetahui lebih lanjut cerita yang lebih seru dan, pada gilirannya,  merangsang minat mereka untuk membaca buku.

4.      Pameran

Sosialisasi perpustakaan yang dilaksanakan secara intens akan lebih meyakinkan masyarakat bahwa perpustakaan benar-benar merupakan sumber pengetahuan dan hal ini akan memberikan nilai positif bagi citra perpustakaan di masyarakat. Melalui  pameran juga bisa dihimpun relawan yang dapat membantu pembentukan komunitas baca sehingga jangkauan perpustakaan dapat lebih luas.

Dalam melakukan misi sebagai fasilitator pembelajaran seumur hidup ada beberapa masalah yang mungkin dihadapi, antara lain:

1.      Bahan pustaka hilang atau tidak kembali

Bahan pustaka rusak atau hilang merupakan hal yang biasa di perpustakaan. Untuk meminimalkan hal tersebut perpustakaan sangat memerlukan susunan penanggung jawab dari kelompok pengguna sehingga ada kejelasan dalam pelacakan bahan pustaka yang dipinjam

2.       Bahan pustaka yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna

Surat permintaan peminjaman bahan pustaka yang diajukan kelompok pengguna diharapkan dapat memberikan jalan tengah untuk menyesuaikan ketersediaan koleksi dengan kebutuhan pengguna. Dengan demikian  diharapkan bahan pustaka benar-benar dapat dimanfaatkan dan tepat sasaran.

3.      Tidak adanya tanggapan yang positif dari keompok sasaran

Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain: kurangnya sosialisasi, pengguna tidak yakin dengan pelayanan yang diberikan, pengguna merasa bingung dalam memanfaatkan layanan yang ditawarkan dan tidak adanya rangsangan yang membuat pengguna tertarik mengambil layanan itu.

 

Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul di atas, dapat diambil langkah-langh sebagai berikut:

a.            Melakukan sosialisasi maupun promosi yang dibuat semenarik mungkin;

b.            Survei terhadap kebutuhan pengguna;

c.             Memilah-milah subjek koleksi bahan pustaka sehingga pengguna lebih mudah dalam memilih koleksi yang sesuai dengan kebutuhannya

d.            Menerapkan sistem reward bagi komunitas atau pengguna yang berprestasi atau yang paling aktif atau yang terbaik

Dengan menerapkan konsep perpustakaan sebagai tempat belajar seumur hidup diharapkan dapat terselesaikan masalah kemiskinan informasi yang akan membuka jalan bagi terselesaikannya masalah-masalah yang lain. Karena semakin banyak informasi yang digunakan sebagai referensi akan lebih memudahkan kita dalam setiap pengambilan keputusan adan akan membuka pikiran kita bahwa ternyata banyak sekali cara yang dapat digunakan untuk memecahkan persolan kehidupan. Dengan demikian akan sangat membantu   negara dalam mewujudkan cita-cita dalam membentuk masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan merata.

 

E.     Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas, ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi sebagai kesimpulan dari tulisan ini. Yang pertama bahwa perpustakaan sangat penting keberadaannya dalam menunjang terlaksananya pendidikan seumur hidup (lief long learning). Hal ini dikarenakan perpustakaan merupakan tempat menyimpan sumber informasi dan pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, mulai saat ini pengelolaan terhadap perpustakaan harus ditangani lebih serius karena keberadaanya sangat potensial sebagai pendukung terwujudnya masyarakat yang berilmu pengetahuan.

Dalam menjalankan misinya sebagai tempat belajar seumur hidup perpustakaan tidak boleh hanya menunggu akan tetapi hendaknya aktif dalam memotivasi pengguna serta menciptakan inovasi layanan yang membuat penggunanya merasa betah dan terobsesi dengan perpustakaan, sehingga perpustakaan menjadi penentu pola dan kecenderungan (pattern and trend setter) perilaku masyarakat. Bila pola dan kecenderungan sudah mengarah pada perpustakaan maka persoalan rendahnya minat baca masyarakat dapat teratasi dan masyarakat dapat memperoleh haknya dalam mencari ilmu pengetahuan tanpa harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah.

Dalam mewujudkan perpustakaan yang berbasis komunitas pustakawan harus jeli dalam menyeleksi bahan pustaka. Bahan pustaka yang dilayankan pada suatu komunitas hendaknya benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga kebutuhan komunitas tersebut dapat terpenuhi dan perpustakaan dapat dimanfaatkan secara optimal.

 

F.     Daftar Pustaka

 

Evens, Bob. 1996. "The Effect Of Recent Developments In University Libraries On The Research Proses" dalam " Modernizing Research Libraries". United of Kingdom: British Library

Lasa HS. 1998. :Kamus Istilah Perpustakaan". Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mustafa, B. 1998. "Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan Memasuki era Teknologi Informasi" dalam Dinamika Informasi Dalam Era Globalisasi. Bandung: Rosda Karya.

Pendidikan Berumur Berlangsung Seumur Hidup. Diakses melalui http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/04/0502.htm

Qalyubi, Syihabuddin et al. 2003. Manajemen Strategis (Perubahan Organisasi). Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan Dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.

Sa'adah, Siti. Pendidikan Seumur Hidup. Diakses melalui http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/16/99forumguru.htm

 

[Eka Wardhani adalah alumnus Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

 

No comments: